Mungkinkah Hanura menjadi partai ideologis

Pada waktu Wiranto memulai iklannya di TV sekitar setahun lalu, sekitar setahun lalu, dengan mengajak masyarakat untuk bergabung dengan gerakan yang dinamakannya Hati Nurani Rakyat, saya waktu itu tersenyum saja. Apa yang dilakukan seorang anak bangsa bernama Wiranto menurut saya hanyalah upayanya untuk membuat sebuah perahu untuk mengulangi impiannya yang gagal pada Pilpres 2004 dan karena menurut analisanya mungkin, tipis harapan baginya untuk memakai kendaraan yang sama.


Ketika Partai Hanura resmi didirikan dan orang-orang gegap gempita membuka cabang-cabang Hanura, saya yang alergi politik praktis dan sampai saat itu, seumur hidup saya belum pernah menggunakan hak pilih saya, baik di zaman orde baru maupun reformasi, saya menganggap para penyambut Hanura tidak lebih dari petualang-petualang politik yang memang ingin mencari kendaraan.


Gagasan Kemandirian
Partai Hanura menemukan takdirnya dengan berkoalisi dengan Golkar. Deklarasi JK-Win saat itu menurut saya hanyalah sebuah keterlibatan yang terpaksa karena Megawati sendiri lebih sreg kepada Prabowo. Berita tentang Wiranto dan pengurus Golkar yang berjalan kaki mengunjungi JK dalam rangka negosiasi pasangan itu pun menggelikan saya.

Keadaan berubah setelah saya membaca blog-blog JK di kompasiana. Dari hari ke hari pasangan ini menunjukkan jati dirinya sebagai kelompok yang ingin menciptakan kemandirian bangsa. Cita-cita besar untuk menjadi bangsa yang besar, indonesia yang jaya, indonesia yang mandiri.

Ekonomi Kemandirian
Berpasangan dengan JK, kedua pasangan ini kemudian saling mengisi ideologi. Mereka secara bersama kemudian menggagas suatu sistem ekonomi yang dilabeli ekonomi kemandirian. Penggunaan istilah ini kemudian begitu menarik, jika Prabowo memiliki ekonomi kerakyatan atau karena disanding-sandingkan dengan neoliberalis yang dituduhkan kepada SBY bisa kita sebut ekonomi neososialis, ekonomi kemandirian kemudian menjadi suatu sistem ekonomi yang berada di tengah-tengahnya. Karena sistem ekonomi mendasari pada prinsip-prinsip kebangsaan atau ekonomi kebangsaan maka kita dapat juga menjuluki ekonomi nasionalis.

Tiga capres yang muncul melahirkan pertarungan gagasan baru, SBY/Budiono dengan tuduhan neoliberalisnya, Prabowo/Mega dengan ekonomi kerakyatannya dan Wiranto/Kalla dengan ekonomi kemandiriannya.

Gagasan pertarungan ideologis
Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan barangkali hanyalah jargon-jargon atau kemasan-kemasan untuk menarik massa, tetapi adalah sangat menarik jika pertarungan ketiga ideologi ini menjadi konsumsi tetap setiap pemilu. Neososialis di kiri, nasionalis di tengah, dan neoliberalis di kanan.

Selama ini kita hanya disuguhi pertarungan-pertarungan semu tanpa isi yang jelas. PPP partai Islam misalnya sulit dibedakan dengan PKB, PKS, PAN ataupun PBB. Sementara partai-partai lain hanyalah pecahan dari Golkar yang memang selama ini telah dikenal sebagai partai yang tanpa ideologi tertentu. Oleh karenanya, dukungan-dukungan masyarakat kepada partai-partai lebih terarah kepada dukungan-dukungan kepada figur-figur yang kemudian ternyata kemudian mengecewakan. Kekecewaan tersebut selanjutnya menimbulkan apriori terhadap politik. Partisipasi politik masyarakat pun kemudian terpaksa dibeli dengan uang (money politics).

Gerindra telah memulai gagasannya dengan jargon ekonomi kerakyatan yang telah memukau sebagian masyarakat. Demokrat kemudian mendapat cipratan tuduhan neoliberal yang sayangnya tidak diakui. Jika saja Hanura kemudian mengambil peran dengan mengembangan ideologi kemandiriannya ini dengan prinsip-prinsip yang jelas dapat membedakannya dengan ekonomi kerakyatan dan neoliberalis secara nyata kepada masyarakat banyak, maka pertarungan demokrasi di masa depan akan menjadi lebih nyata dan lebih bernilai.
Share:

No comments:

Post a Comment

Recent Posts

PENCARIAN

Label

Postingan Populer