Restrukturisasi Departemen Pendidikan

Meski dinamakan orde reformasi, tetapi dalam kenyataannya, tidak ada kegiatan reformasi yang berarti yang terjadi. Utamanya dalam restrukturisasi dan rasionalisasi birokrasi. Secara umum, birokrasi pemerintahan masih dianggap serupa dengan masa orde baru. Kualitas pelayanan pemerintahan masih rendah. Kinerja birokrasi masih jauh.


Restrukturisasi dalam Sejarah
Dalam sejarah Indonesia, Orde Baru maupun Orde Lama cukup kuat dalam reformasi. Pada era-era revolusi, pemerintah perjuangan sempat mengadakan "Rera" rekonstruksi dan rasionalisasi terhadap angkatan perang. Program rera berlanjut setelah pengakuan kedaulatan meskipun menghadapi tantangan perlawanan dari eks tentara pejuang yang terkena dampak rera tersebut. Tetapi sejarah mencatat, bahwa program tersebut telah terbukti menghasilan ABRI yang modern.

Pada awal Orde Baru, Soeharto mengadakan restrukturisasi dan refungsionalisasi angkatan. Restrukturisasi tersebut dapat memisahkan tanggung jawab di bidang pertahanan keamanan di mana pada tingkat departemental dipegang oleh Dephankam dan pada tingkat operasional dipegang oleh Komando-komando Operasi. ABRI adalah pelaksana dari sistem pertahanan dan Dephankam adalah pengambil kebijakan strategisnya. Refungsionalisasi yang dijalankan adalah pemisahan fungsi social security dengan defensive security. TNI mengambil peran defensif dan Polri mengambil peran sosial.

Kondisi Departemen Pendidikan
Departemen Pendidikan bermula dari Kementerian Pengajaran yang dipimpin oleh tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Departemen ini pada Kabinet 100 menteri merupakan salah satu dari 14 kompartemen yang ada saat itu, yakni:
1. Kompartemen Luar Negeri
2. Kompartemen Hukum dan Dalam Negeri
3. Kompartemen Pertahanan Keamanan
4. Kompartemen Keuangan
5. Kompartemen Pembangunan
6. Kompartemen Perindustrian Rakyat
7. Kompartemen Pekerjaan Umum dan Tenaga
8. Kompartemen Pertanian dan Agraria
9. Kompartemen Distribusi
10. Kompartemen Maritim
11. Kompartemen Kesejahteraan
12. Kompartemen Urusan Agama
13. Kompartemen Pendidikan/Kebudayaan
14. Kompartemen Perhubungan dengan Rakyat

Kompartemen Pendidikan dan Kebudayaan terdiri dari:
1. Menteri Koordinator
2. Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan
3. Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan
4. Menteri Olah Raga

Departemen Pendidikan Nasional saat ini terdiri dari:
1. Setjen
2. Irjen
3. Balitbang
4. Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah
5. Ditjen Pendidikan Tinggi
6. Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal
7. Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Balitbang terdiri dari:
1. Sekretariat Badan
2. Puslit Kebijakan dan Inovasi Pendidikan
3. Pusat Kurikulum
4. Pusat Statistik Pendidikan
5. Pusat Penilaian Pendidikan

Setjen terdiri dari:
1. Bagian Umum
2. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri
3. Biro Keuangan
4. Biro Kepegawaian
5. Biro Hukum dan Organisasi

Ditjen Mandikdasmen terdiri dari:
1. Sekretariat Ditjen
2. Dit. Pembinaan TK dan SD
3. Dit. Pembinaan SMP
4. Dit. Pembinaan SMA
5. Dit. Pembinaan SMK
6. Dit. Pembinaan PLS

Ditjen Mandikti terdiri dari:
1. Sekretariat Ditjen
2. Dit. Akademik
3. Dit. Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
4. Dit. Ketenagaan
5. Dit. Kelembagaan

Ditjen Dik nonformal informal terdiri dari:
1. Sekretariat Ditjen
2. Dit. PAUD
3. Dit. Pendidikan Kesetaraan
4. Dit. Pendidikan Masyarakat
5. Dit. Pembinaan Kursus dan Kelembagaan

Ditjen PMPTK:
1. Sekretariat Ditjen
2. Dit. Profesi Pendidik
3. Dit. Tenaga Kependidikan
4. Dit. Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal
5. Dit. Pembinaan Diklat

Penyelenggaraan Sekolah dan PTN
Setelah reformasi, pemerintah pusat hanya bertanggung jawab pada PTN. SMA dan SMK dilimpahkan ke Dinas Pendidikan Provinsi, sedangkan SD dan SMP pada Dinas Kabupaten/Kota. Pelimpahan ini menyebabkan terjadinya perbedaan pembinaan yang cukup tajam antar daerah. Perbedaan prioritas di masing-masing daerah diduga salah satu penyebabnya.

Penyelenggaraan sekolah dan PTN yang masih satu institusi/lembaga dengan pembina/pengatur pendidikan menyebabkan terjadinya dua tanggung jawab pada institusi pendidikan, yakni tanggung jawab penyelenggaraan dan tanggung jawab pengaturan. Dalam tanggung jawab pengaturan, otoritas pendidikan (depdiknas dan dinas pendidikan daerah), mengatur/memberdayakan pendidikan secara umum, termasuk pembinaan terhadap lembaga pendidikan non-pemerintah. Sebaliknya sebagai penyelenggara pendidikan, pemerintah juga bertanggungjawab atas operasional lembaga pendidikan yang dikelolanya. Hal ini telah memicu beberapa kekurangan:
1. Tidak fokus
Dengan dua tanggung jawab yang dipikul, pemerintah tidak memiliki satu fokus utama di bidang pendidikan. Akibatnya, keduanya menjadi terbengkalai. Secara umum, lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah kalah mutu dibandingkan yang dikelola swasta dengan perbedaan yang sangat mencolok. Sementara itu, kualitas pendidikan secara umum juga tertinggal.

2. Irrasional dalam pembukaan sekolah
Karena memiliki wewenang dalam penyelenggaraan sekolah, dinas pendidikan seringkali memaksakan diri untuk membuka sekolah baru pada tempat yang tidak layak. Sering dijumpai pada satu daerah tertentu berdiri beberapa sekolah negeri yang pada akhirnya masing-masing sekolah kekurangan murid. Sebaliknya, banyak daerah yang belum memiliki sekolah negeri/swasta, padahal anak usia sekolah cukup banyak di tempat tersebut. Meski beberapa dinas pendidikan mengambil kebijakan penggabungan sekolah untuk sekolah-sekolah yang kekurangan murid, tetapi prosesnya berjalan rumit.

3. Serba salah
Sebagai lembaga pengatur dan penilai kualitas pendidikan, otoritas pendidikan mempunyai potensi rasa serba salah. Jika pemerintah menetapkan standar yang tinggi, yang terkena dampak adalah sekolah-sekolah negeri yang juga dikelolanya.

4. Kegemukan
Penggabungan dua tanggung jawab tersebut menyebabkan otoritas pendidikan menjadi institusi yang gemuk. Dengan kegemukan tersebut, fungsi pengendalian akan menjadi sulit. Dan ternyata, otoritas pendidikan menjadi salah satu institusi yang mendapat nilai merah dalam akuntabilitas.


Solusi
Sudah saatnya dipikirkan untuk mengkaji kembali hubungan antara lembaga penyelenggara pendidikan dengan otoritas pendidikan. Dengan jumlah sekolah dan universitas yang banyak, sudah saatnya dipikirkan hubungan yang baru antara departemen/dinas pendidikan dengan sekolah/universitas seperti hubungan antara Dephankam dan ABRI.

PTN memiliki sejumlah keunikan yang mencolok dengan sekolah. Oleh karenanya, keduanya dikelola oleh lembaga terpisah. Untuk PTN, perlu dibentuk Badan Koordinasi PTN. Dan untuk sekolah negeri perlu dibentuk Lembaga Penyelenggara Sekolah Negeri. Pimpinan BK-PTN dapat dipilih oleh para rektor PTN, selanjutnya pimpinan BK-PTN memiliki kedudukan yang setara seperti Kapolri/Jaksa Agung. Demikian pula dengan LPSN. BK-PTN dan LPSN memiliki kewenangan administrasi khusus dalam bidang keuangan dan kepegawaian. Selanjutnya, pemerintah juga perlu memikirkan agar tenaga operasional pada PTN (dosen) dan pada sekolah negeri (guru) memiliki registrasi yang berbeda dengan PNS secara umum. Sama seperti lembaga profesional lainnya. LPSN memiliki otoritas penuh terhadap sekolah-sekolah negeri tanpa campur tangan Dinas/Departemen Pendidikan menyangkut operasional sekolah. Hubungan antara LPSN dengan Dinas/Departemen Pendidikan adalah sama seperti hubungan antara sekolah swasta dengan Dinas/Departemen Pendidikan. Tenaga pendidik yang selama otonomi daerah terkungkung pada lingkup daerahnya, kiranya dapat memperluas wawasan dengan pindah atau sekurang-kurangnya mengikuti diklat yang diselenggarakan LPSN daerah tetangganya.
Share:

No comments:

Post a Comment

Recent Posts

PENCARIAN

Label

Postingan Populer